Pernahkah Anda bayangkan sekarang ada seorang anak Indonesia berumur 
14 tahun menulis sebuah novel bermutu tentang negara lain—yang dia tak 
pernah kunjungi—serta tentang agama selain agamanya? Sepertinya tidak 
ada! 
Banyak anak Indonesia umur 14 kerjaannya hanya gaul, pacaran, 
tawuran, nonton TV atau mengonsumsi narkoba! Dan banyak yang tidak  
tertarik pada agamanya apalagi agama orang lain.
Sementara seorang tokoh Muslimah terkenal, Maryam Jamilah menulis 
novel bermutu “Di Tepian Jalur Gaza”, pada usia 14 tahun dalam kondisi 
yang saya sebutkan di atas. Ia belum pernah ke Palestina dan ia masih 
menganut Yahudi, tapi novelnya mengritik orang Yahudi dan membela orang 
Islam Palestina.
Sebenarnya siapa Maryam Jamilah ini? Maryam Jamilah dilahirkan di 
Westchester, New York, pada tahun 1934. Ia dilahirkan dengan nama 
Margret Marcus.Waktu kecil ia mempunyai nama panggilan yang lucu, Peggy,
 padahal yang bernama Margaret atau Margret biasanya di Amerika 
dipanggil Maggy. Gadis yang berasal dari suatu keluarga Yahudi yang 
mukim di New York ini memang lain sejak awalnya.
Demi memuasi dahaganya akan kebenaran hidup, sejak masa-masa 
remajanya yang paling dini ia telah sekian kali berpindah dari suatu 
“pusat kerohanian” ke “pusat kerohanian” lainnya. Dari yang sepenuhnya 
bersifat keagamaan hingga tak kurang dari yang bersifat agnostik, atau 
malah atheistik sama sekali.
Juga, berbeda dengan remaja-remaja New York sebayanya, Margret, gadis
 ini,mengharamkan bagi dirinya segala sesuatu yang disebut sebagai 
“sumber kenikmatan hidup”, seperti pergaulan bebas, pesta-pesta, mode, 
minuman keras, merokok dan ajojing. Justru di saat yang sering disebut 
sebagai “masa-masa yang paling indah” dalam kehidupan seseorang.
Sebagai gantinya, ia benamkan dirinya dalam tumpukan buku-buku yang 
terhitung “berat” bagi kebanyakan orang, apalagi bagi remaja seumurnya, 
seperti: agama, filsafat, psikologi dan sebangsanya.
Ketertarikan Margret pada Islam dimulai ketika ia berumur 10 tahun. 
Pada umur itu ia mengikuti “Sekolah Minggu” yang diadakan oleh seorang 
Yahudi Reformis.Ia sangat terkagum-kagum dengan hubungan sejarah antara 
Arab-Yahudi. Dari buku-buku teks Yahudi, Margret mempelajari bahwa 
Ibrahim adalah nenek moyang bangsa Arab sekaligus bangsa Yahudi.
Margret membaca bahwa pada beberapa abad setelah Ibrahim wafat yaitu 
pada abad pertengahan, di Eropa, umat Kristen tidak mempunyai toleransi 
terhadap orang-orang Yahudi. Orang-orang Kristen juga menyiksa, 
membunuh, bahkan, membantai umat Yahudi.
Hal ini berbeda secara diametral dengan yang terjadi di negara Islam 
Spanyol (Andalusia), kala itu. Di sana  umat Islam  ‘welcome’ terhadap 
orang-orang Yahudi. Toleransi kaum Muslimin dan negara Islam sangat 
mengagumkan dalam sejarah. Orang-orang Yahudi boleh bekerja, bebas dalam
 perdagangan atau bahkan di jajaran pemerintahan. Di mata Margret atau 
Peggy kecil, ini adalah keluhuran budi dan peradaban yang tinggi.
Dalam sejarah diketahui bahwa peradaban Islam mengalami kejayaan 
tertinggi pada masa Negara Islam Andalusia ini—Spanyol sekarang.
Negara Islam bukan cuma tidak membunuhi orang-orang Yahudi, tapi 
justru merangsang tumbuhnya kebudayaan dan peradaban Yahudi sehingga 
pada tingkat pencapaian yang tertinggi dan mencapai puncaknya. Kenyataan
 ini membuat Margret terkagum-kagum pada Islam.
Pada saat itu Margret masih lugu, polos, bahkan naif. Margret 
berpikir bahwa Yahudi “pulang” ke Palestina untuk memperkuat ikatan 
keluarga mereka dengan sepupu dekatnya sesama Semit yaitu bangsa Arab. 
Hal ini wajar malahan bagus, menurut Margret, karena mereka keluarga 
dekat dalam agama dan budaya.
Margret meyakini  bahwa Yahudi dan Arab akan bekerja sama guna 
mencapai masa kejayaan yang berikut seperti yang terjadi di negara Islam
 Andalusia. Masa kejayaan kedua peradaban  itu, yang kali ini menurut 
keyakinan Margret akan diwujudkan di Timur Tengah.
Keyakinan ini membuat Margret semakin terkagum-kagum pada Islam dan 
hubungan bersejarah Arab-Yahudi. Kebalikan dari itu, Margret sangat 
tidak bahagia di “Sekolah Minggu”. Pada masa ini Margret 
mengidentifikasikan dirinya secara kuat dengan orang-orang Yahudi di 
Eropa.
Kemudian terjadilah pembantaian besar-besaran terhadap Yahudi oleh 
Nazi. Margret terkejut bukan alang-kepalang. Dan ia sangat marah ketika 
tak seorang pun anggota masyarakat  Yahudi bereaksi terhadap persoalan 
ini.
Menurut keyakinan Margret, masalah persaudaraan Yahudi ini adalah 
masalah agama yang sangat penting. Ternyata tak seorang pun peduli. 
Nyatanya, memang, masyarakat Yahudi di lingkungan sekitar Margret tidak 
peduli pada agamanya, apalagi taat.
Sebut misalnya pada acara keagamaan di Sinagog, anak-anak malah 
membaca komik yang disembunyikan di balik kitab suci. Anak-anak juga 
tertawa-tawa mengejek dan mencemooh ketika ritual agama berlangsung. 
Anak-anak sebaya Margret sangat ribut dan tidak patuh kepada guru. 
Apalagi kalau para guru itu tidak mampu mendisiplinkan dan mengatur 
kelas.
Di rumah Margret suasana mempelajari dan mengamalkan agama Yahudi 
juga tidak lebih menyenangkan. Kakak perempuan Margret sangat membenci 
“Sekolah Minggu”. Apalagi “Sekolah Minggu” dianggap mengganggu waktu 
tidur dan santainya di hari libur.
Ibu Margret benar-benar menyeret (dalam arti harfiah) sang kakak dari
 tempat tidur pada pagi hari, setelah mengguncang-guncang badannya 
begitu keras. Sang kakak selalu bangun dengan sumpah serapah dan 
menangis menjerit-jerit.
Akhirnya, orang tua Margret capek menghadapi sang kakak dan 
membiarkannya berhenti dari “Sekolah Minggu”. Pada hari raya Yahudi 
alih-alih hadir di Sinagog dan puasa Yom Kippur, Margret dan kakaknya 
malahan bolos dan kabur. Mereka malah piknik lalu makan-makan di 
restoran bagus. Sambil cekikikan tentunya.
Ketika orang tuanya yakin bahwa Margret dan kakaknya sangat parah 
bandelnya di “Sekolah Minggu”, sang ortu masuk ke organisasi agnostik 
(humanis dan kemanusiaan) Yahudi. Mereka juga memindahkan kedua anaknya 
yang bandel ke “Sekolah Minggu” milik organisasi ini.
Organisasi ini dikenal luas sebagai organisasi humanis dengan nama 
“The Ethical Culture Movement” (Gerakan Kebudayaan Etis). “The Ethical 
Culture Movement” didirikan pada akhir abad ke-19 oleh Felix Adler.
Ketika belajar menjadi Rabbi, Felix Adler tumbuh keyakinannya akan 
relativitas ibadah agama. Ibadah agama dan nilai-nilai etika, menurut 
Adler, adalah relatif dan buatan manusia belaka.
Penyembahan kepada Tuhan atau Dewa serta supranaturalisme atau 
Theologi, tidaklah relevan lagi, menurutnya. Agama sudah tidak pantas 
lagi dalam dunia modern, kata Adler.
Margret mengikuti “Sekolah Minggu” versi Adler ini, lengkap dengan 
ajaran-ajaran Adler tentunya. Setiap minggu Margret dengan rajinnya 
mengikuti sekolah ini, berbeda dengan “Sekolah Minggu” sebelumnya. 
Margret pun akhirnya lulus dari sekolah ini pada umur 11 tahun.
Sejak saat itu Margret meremehkan dan mencemoohkan upacara-upacara 
tradisional, penyembahan-penyembahan, peribadatan-peribadatan, dan agama
 yang terorganisasi.
Pada masa remaja inilah Margret sangat terpengaruh oleh filsafat 
humanistik. Ia juga menjadi atheis. Apalagi pada masa itu seorang atheis
 dianggap sebagai seorang yang terdidik. Ketika masa-masa atheis ini, 
yaitu pada umur 12 tahun, petualangan Margret sangat hebat di dunia 
intelektual.
Di usia ini, banyak buku dan terutama ensiklopedi, dilahapnya. Ia 
juga gandrung membaca buku tentang dunia Arab dan Islam. Ia membaca buku
 TheLance of Kanana karya Harry W. French, sebuah buku yang menceritakan
 seorang anak Badui.
Ia juga membaca buku Boy of The Desert karya Eunice Tietjiena yang 
menceritakan seorang anak yang bernama Abdul Aziz. Buku Camel Bells: A 
Boy from Baghdad yang bertutur tentang seorang anak Irak yang diangkat 
oleh keluarga Badui pun dilahapnya.
Buku-buku inilah yang mengilhami Margret untuk membuat cerita tentang
 kehidupan seorang anak di desa kecil di kamp pengungsi Palestina, 
“Ahmad Khalil”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan 
judul “Di Tepian Jalur Gaza”. Buku ini ditulis pada usia 14 tahun! Bukan
 Main!
Sejalan dengan kedewasaan dan kematangan Margret secara intelektual, 
ia mulai tidak puas dengan atheisme. Ia merasa ada sesuatu yang 
kurang.Ia memulai pencarian baru. Ia kembali mencari identitas diri. Ia 
pun memasuki kelompok Baha’iyah atau Baha’i di New York. Kelompok ini 
bernama “The Caravan of East and West” (Karavan Timur dan Barat).
Kelompok ini dipimpin oleh seorang Persia yang bernama Mirza Ahmed 
Sohrab. Sohrab pun memberitahu Margret bahwa ia pernah menjadi 
sekretaris Abdul Baha, sang pendiri Baha’i.
Pada awalnya Margret tertarik pada Baha’i karena keaslian Islamnya, 
menurut Margret. Ia juga tertarik dengan ajarannya tentang kesatuan umat
 manusia (ummatan wahidatan). Tetapi kemudian Margret menemukan betapa 
buruk pengamalan ide-ide Baha’i oleh penganutnya.
Margret kemudian keluar dari Baha’i atau setahun setelah ia masuk. Ia
 merasa sakit hati, sedih, marah, dan kecewa karena merasa tertipu. Pada
 umur 18 tahun Margret menjadi anggota cabang gerakan keagamaan Zionis 
remaja. Gerakan ini dikenal dengan nama Mizrachi Hatzair.
Beberapa bulan kemudian ketika Margret mengetahui seperti apa 
Zionisme sebenarnya, Margret keluar dengan muak dan jijik. Ia yang 
selama ini menyangka bahwa Zionisme adalah gerakan persaudaraan dan 
kerja sama Arab-Yahudi, menjadi marah, kaget, dan kecewa. Ia akhirnya 
mengetahui borok Zionisme yang hanya membuat-buat dan mencari-cari 
permusuhan dan peperangan dengan bangsa Arab.
Pada umur 20 tahun Margret kuliah di Universitas New York. Salah satu
 mata kuliahnya adalah “Judaisme in Islam” (Ajaran Yahudi dalam Islam). 
Dosen Margret, Rabbi Abraham Issac Katsh, Ketua Jurusan Studi-studi 
Hebrew, tidak perlu capek-capek meyakinkan mahasiswanya bahwa Islam itu 
mencontek dari Yahudi. Mayoritas mahasiswanya yang ingin menjadi Rabbi 
langsung menyetujuinya. Buku teks di kuliah itu yang ditulis oleh sang 
dosen dengan judul “Took each verse from the Qur’an” sungguh-sungguh 
menyatakan tanpa bukti bahwa ayat-ayat Qur’an bersumber dari 
ajaran-ajaran Yahudi.
Meskipun maksud Profesor sebenarnya ingin membuktikan kepada 
mahasiswa superioritas Yahudi atas Islam, Margret malah menjadi yakin 
akan hal yang sebaliknya. Justru Islam dan Yahudi bersumber dari Tuhan 
yang sama. Dan karena Islam lahir belakangan, maka ia merevisi 
ajaran-ajaran Yahudi. Orang Yahudilah yang harus mengikuti Islam, 
demikian menurut Margret. 
Usaha-usaha Zionisme yang menyuruh orang-orang Yahudi berimigrasi ke 
Palestina adalah kolusi antara kekuatan politik dengan 
pengusaha-pengusaha real estate, demikian dalam benak Margret. Tidak ada
 landasannya dalam kitab Talmud, menurutnya lagi. Kalaupun ada, itu 
adalah distorsi disebabkan kolusi. Yang sebenarnya adalah tidak ada.
Fusi antara nasionalisme Yahudi dengan agama ternyata malah 
memiskinkan orang-orang Yahudi secara spiritual, demikian Margret. 
Eksklusivitas yang rigid dari Yahudi juga menjadi penyebab pembantaian 
umat lain terhadap orang-orang Yahudi.
Menurut Margret, kalau orang-orang Yahudi inklusif dan toleran pasti 
mereka tidak akan dibantai sepanjang sejarah umat manusia. Margret pun 
menjadi sadar bahwa Zionisme adalah kombinasi antara rasisme, Tribalisme
 Yahudi, dan nasionalisme sekuler modern.
Melihat ketidakadilan yang dilakukan oleh PBB dalam mengatasi 
hubungan Arab-Yahudi di Palestina hati Margret menjadi tambah tidak 
yakin dengan agama Yahudi. Ia tidak betah dan tidak kuat lagi mengaku 
sebagai orang Yahudi. Ia melihat kecurangan-kecurangan PBB yang disogok 
gerakan Zionisme melalui Lobby Yahudi Amerika. Ia menjadi sangat malu 
sebagai orang Yahudi.
Semakin Margret mengikuti kuliah Profesor Katsh, semakin Margret 
tidak meyakini agamanya. Margret kian merasa agama Yahudi banyak 
cacatnya. Apalagi sudah beberapa bulan Margret membaca Al Qur’an dan 
Hadits. Margret membandingkan Al-Qur’an dengan Talmud. Ia merasa 
Al-Qur-an lebih sempurna, lebih logis, dan lebih argumentatif dibanding 
Talmud.
Dan pada pagi hari di bulan November 1954, Margret masuk Islam. 
Keluarga Margret menghalang-halangi keinginan Margret masuk Islam. 
Dengan banyak argumen mereka menyuruh Margret keluar dari Islam.
Keluarga Margret memperingatkan bahwa Islam akan menyulitkan hidup 
Margret. Mereka berpendapat bahwa Islam tidak seperti Yahudi dan Kristen
 yang menjadi bagian sejak Amerika berdiri. Mereka memberitahukan bahwa 
Islam akan membuatnya terasing. Terasing dari keluarga dan terisolasi 
dari masyarakat.
Pada masa itu keyakinan Margret akan Islam belum terlalu kuat. Ia pun
 tidak tahan terhadap tekanan-tekanan dari keluarga dan masyarakat 
sekitarnya.
Sebagai hasil dari kekacauan dalam diri Margret, jiwa dan pikirannya 
terganggu. Ia pun harus DO dari kuliahnya. Selama dua tahun Margret 
tinggal di rumah di bawah perawatan medis. Tetapi kesehatan jiwanya 
semakin memburuk.
Dalam keputusasaan sejak tahun 1957-1959 orang tua Margret memasukkan
 Margret ke rumah sakit jiwa pemerintah dan RSJ Swasta. Di RSJ 
pemerintah ini Margret berjanji apabila ia benar-benar sembuh dan 
dipulangkan dari RSJ ini ia akan memeluk Islam dengan seyakin-yakinnya.
Orang tua Margret tetaplah orang tua. Mereka sangat menyayangi 
anaknya. Mereka tidak ingin anaknya tambah parah sakitnya. Mereka ingin 
anaknya cepat sembuh. Mereka tidak tega melarang Margret untuk masuk 
Islam. Mereka pun berjanji kepada Margret, kalau Margret benar-benar 
sembuh, ia akan dibolehkan masuk Islam. Limpahan kasih sayang dari orang
 tua Margret sangat efektif menyembuhkan sakit jiwa yang diderita 
Margret.
Akhirnya Margret  dibolehkan pulang pada tahun 1959. Setelah kembali 
ke rumah, ia mencari-cari peluang untuk bertemu kaum Muslimin di New 
York. Ia terus berdoa selain berusaha.
Doa Margret dikabulkan oleh Allah Yang Maha Penyayang, terutama 
kepada hambanya yang mau menepati janjinya ketika di alam ruh. Margret 
berhasil mempunyai kenalan Muslimin dan Muslimah. “Mereka adalah 
orang-orang yang paling baik,” demikian pendapat Margret.
Pada tahun 1961 di usianya yang ke-27, Margret masuk Islam lagi. Ia 
bersyahadat disaksikan oleh Syekh Daud Ahmad Faisal dan berganti nama 
menjadi Maryam Jamilah.
Maryam juga mulai menulis banyak artikel untuk pers Islam di Amerika.
 Sebelum berkenalan dengan tokoh-tokoh Islam Maryam selalu menderita. 
Kalimat perpisahan pada deritanya baru bisa ia ucapkan setelah ia 
mengenal Sayyid Abul A’la al-Maududi, seorang imam besar umat yang 
tinggal di Pakistan.
Mulai dari surat-menyurat yang mengharukan antara seorang bapak 
dengan putrinya, antara seorang Muslimah intelektual dengan ulama besar 
yang ternyata sama sekali bersesuaian pendapat ini, akhirnya mentas-lah 
dari gadis ini seorang Maryam Jamilah yang tegar.
Ternyata sebelum mengemukakan pendapat mereka masing-masing, cara 
berpikir mereka sudah sama. Dalam surat pertama Maududi kepada Margret 
yang merupakan surat balasan, Maududi menulis:
“Ketika saya membaca surat dan artikel Anda, saya merasa membaca 
ide-ide saya sendiri. Saya harap perasaan Anda akan sama ketika Anda 
mempunyai kesempatan mempelajari bahasa Urdu dan membaca buku-buku saya.
 Walaupun dalam kenyataannya kita belum pernah berkenalan sama sekali. 
Kebulatan suara satu sama lain dari kita dalam pemikiran bisa 
disimpulkan langsung. Faktanya adalah bahwa kita berdua mempunyai sumber
 inspirasi yang sama dan satu: Islam.”
Berkat ketekunan, semangatnya dan hidayah Allah SWT, sebentar saja 
namanya telah bisa disejajarkan dengan ulama-ulama besar terkemuka di 
dunia Islam, menyusul rekan-rekannya sesama muallaf lain yang juga 
sahabat pena Margret seperti: Marmaduke Pickthall, Muhammad Asad, T.B. 
Irving dan lain-lain.
Sebelum masuk Islam pun Maryam sudah merasa bahwa integritas 
keagamaan di dunia kontemporer mempunyai ancaman yang sangat besar. 
Ancaman ini disebut gerakan modernisasi Barat. Gerakan ini bermaksud 
mencampur pengajaran agama dengan reformasi dan filsafat buatan manusia.
 Kalau si pemeluk agama itu punya filter yang kuat hal ini tidak menjadi
 masalah. Tetapi kalau tidak? Tentu bermasalah!
Mengapa Maryam atau Margret berpendapat demikian? Ketika kecil dan 
remaja ia mengalaminya sendiri. Keluarganya yang kurang taat pada agama 
Yahudi semakin hancur keyakinannya karena modernisasi Barat. Mereka 
akhirnya hanya “Yahudi KTP” saja. Organisasi yang berkedok Yahudi 
reformis yang pernah ia masuki pun sami mawon. Malah organisasi inilah 
yang membuatnya menjadi atheis.
Ketika masuk Islam lagi Margret yang mengganti namanya menjadi Maryam
 Jamilah terkejut pula melihat kenyataan, banyak sarjana Muslim didikan 
Barat yang ragu-ragu dengan ajaran Islam. Antara lain mereka mengatakan 
bahwa ajaran Islam mencontek dari ajaran Yahudi.
Maka, Maryam pun ingin memerangi ini melalui tulisan. Abul A’la 
al-Maududi sangat mendukung rencana Maryam ini. Maryam menulis banyak 
artikel di majalah The Islamic Review dan The Muslim Digest. Di antara 
artikel itu terdapat tulisan berjudul “Sebuah Kritikan terhadap buku 
Islam in Modern History” (buku itu dikarang oleh Wilfred Cantwell 
Smith).
Artikel lain berjudul “Kritik terhadap buku Reinterpretation of 
Islam” berisi kritik atas buku karangan Asaf A. Fyzee (wakil rektor 
Universitas Kashmir). Buku ini berbicara tentang Islam yang diungkapkan 
menjadi etika kosong yang tidak memberi dampak kepada pembentukan 
masyarakat dan kebudayaan (terbit tahun 1960).
Sama seperti Maududi, Maryam juga mengritik Sosiolog Turki Ziya 
Gokalp. Di Indonesia Buya Dr Mohammad Natsir juga mengritik Ziya Gokalp 
dalam polemik dengan Soekarno. Memang pemikiran Ziya seperti apa, kok 
banyak yang mengritik?
Ziya mengatakan bahwa nasionalisme dan sekularisme cocok dengan 
Islam. Sudah pasti tokoh-tokoh Islam di atas tidak setuju. Maryam juga 
membantah pendapat Sir Sayyid Ahmad Khan yang sangat mengagung-agungkan 
ilmu pengetahuan dan filsafat Eropa. Ia juga mengkritik para pembaru 
Mesir seperti Muhammad Abduh dan Taha Husain. Ia menentang pula Presiden
 Tunisia Habib Bourguiba (memerintah 1957-1987) yang menyatakan bahwa 
puasa Ramadhan merupakan penghalang pembangunan ekonomi Tunisia.
Pada tahun 1962, atas tawaran Al-Maududi, Maryam Jamilah pindah ke 
Pakistan dan menetap di Lahore sebagai anggota keluarga Al-Maududi. 
Setahun kemudian ia menikah dengan Yusuf Khan, seorang pengurus harian 
Jami’at Islami, gerakan Islam yang didirikan Maududi pada tahun 1941.
Pena Maryam sangat tajam menusuk, membedah, dan memreteli peradaban 
Barat yang berlawanan dengan peradaban Islam. Buku-buku Maryam yang 
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya: ‘Islam 
dalam Kancah Modernisasi’, ‘Menjemput Islam’, ‘Para Mujahid Agung’, dan 
‘Di Tepian Jalur Gaza’.
Kini, Maryam Jamilah telah tiada, baru saja meninggalkan kita, dalam 
usia 78 tahun, memenuhi panggilan Rabb-nya. Semoga Allah memberikan 
tempat yang terbaik di sisi-Nya. Dan, mudah-mudahan Allah semakin 
memperbanyak Mujahid-Mujahidah yang berjuang melalui pena seperti 
anjuran Ziaudin Sardar, melakukan “Jihad Intelektual”. Wallahu A’lam 
bish Shawab.
Anda sedang membaca artikel tentang Maryam Jamilah: Mujahidah Bersenjata Pena dan anda bisa menemukan artikel Maryam Jamilah: Mujahidah Bersenjata Pena ini dengan url http://bagiislam.blogspot.com/2013/01/maryam-jamilah-mujahidah-bersenjata-pena.html. Anda boleh menyebarluaskan atau mengcopy artikel Maryam Jamilah: Mujahidah Bersenjata Pena ini jika memang bermanfaat bagi anda atau teman-teman anda,namun jangan lupa untuk mencantumkan link sumbernya CariManfaat.com.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan 
klik disini untuk berlangganan GRATIS via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di CariManfaat.com 

0 komentar:
Post a Comment
Berkomentarlah secara Cerdas. Dilarang keras untuk berkomentar iklan