Oleh: Maulana Assidqi
AL Ghazali menceritakan sebuah kisah,
bahwa disebuah perbukitan nan elok, berdirilah sebuah rumah nan indah
dan sedap dipandang mata. Disekeliling rumah itu dirimbuni pelbagai
pepohonan yang rindang. Halamannya penuh dengan rerumputan dan
bunga-bunga yang menebar keharuman. Begitu mempesona dan memberikan rasa
nyaman bagi siapapun yg menghuninya, karena dirawat dengan perawatan
yang alami.
Di kesenjaan usianya, si empunya rumah tersebut
berwasiat kepada anaknya agar seantiasa menjaga dan merawat pohon dan
rumput-rumput itu sebaik mungkin. Begitu pentingnya, samapi-sampai ia
berkata “Selama engkau masih bertempat tinggal dirumah ini, jangan
sampai pohon dan tanaman ini rusak, apalagi hilang”.
Ketika tiba
saatnya si empunya rumah meninggal dunia, sang anak menjalankan apa yang
telah diperintahkan oleh mendiang ayahnya dengan sungguh-sungguh. Rumah
itu betul-betul dirawat, demikian pula pohon dan rumputnya. Tidak
hanya itu, si anak kemudian berinisiatif untuk mencari jenis tanaman
lain yang menurutnya lebih indah dan lebih harum untuk ditanam dihalaman
rumah. Maka, rumah itu semakin menggoda untuk dilihat dan dinikmati.
Si
anak berbunga bunga hatinya. Dibenaknya terlintas kebanggaan bahwa
dirinya telah berhasil menjalankan amanah dengan menjaga pepohonan dan
rerumputan yang menjadi penyejuk rumah lebih dari yang diperintahkan
oleh orang tuanya. Bahkan akhirnya, tumbuhan baru yang ditanam si anak
mengalahkan “rumput asli” baik dari segi keelokan maupun harumnya.
Namun
yang patut disayangkan, tanaman dan rumput yang pernah diwasiatkan oleh
ayahnya akhirnya ditelantarkan, sebab menurutnya sudah ada rumput dan
tanaman lain yang lebih bagus, lebih sejuk dipandang, lebih harum dan
sebagainya. Bahkan saat “rumput asli” tersebut rusak, tak ada rasa
penyesalan di hati si anak. “Toh sudah ada tanaman dan rumput yg lebih
bagus” pikirnya.
Tetapi anehnya, ketika “rumput asli” peninggalan
orang tuanya itu rusak dan musnah tak tersisa, bukan kenyamanan dan
ketentraman yang didapat. Karena ternyata, rumah tersebut lambat laun
menjelma menjadi tempat istirahat yang menakutkan. Betapa tidak, rumah
tersebut dimasuki berbagai macam ular, baik besar maupun kecil yang
membuat si anak terpaksa harus meninggalkan rumah tersebut.
Mencermati kisah ini, Al Ghazali memaknai wasiat orang tua tersebut dengan dua hal:
Pertama,
agar si anak dapat menikmati keharuman rumput yang tumbuh disekitar
rumahnya. Dan makna ini dapat ditangkap dengan baik oleh nalar si anak.
Kedua,
agar rumah tersebut aman. Sebab aroma rumput dan tanamn tersebut dapat
mencegah masuknya ular kedalam rumah yang tentu berpotensi mengancam
keselamatan penghuninya. Namun makna ini tidak ditangkap oleh nalar si
anak.[islampos]
Anda sedang membaca artikel tentang Nasihat Imam Al-Ghazali Kepada Anak dan anda bisa menemukan artikel Nasihat Imam Al-Ghazali Kepada Anak ini dengan url http://bagiislam.blogspot.com/2013/01/nasihat-imam-al-ghazali-kepada-anak.html. Anda boleh menyebarluaskan atau mengcopy artikel Nasihat Imam Al-Ghazali Kepada Anak ini jika memang bermanfaat bagi anda atau teman-teman anda,namun jangan lupa untuk mencantumkan link sumbernya CariManfaat.com.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan GRATIS via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di CariManfaat.com
0 komentar:
Post a Comment
Berkomentarlah secara Cerdas. Dilarang keras untuk berkomentar iklan