وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا
بَعِيدًا (60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
[النساء/60، 61]
Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk)
kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya
kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan
sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS. An-Nisaa’ [4] : 60-61)
BAGI PENDUDUK NEGERI JIRAN yang belum kenal Indonesia, kesan pertama
mereka tentang Indonesia adalah sebuah negeri yang terbelakang dan
kumuh. Kesan seperti itu sangat wajar, karena ‘duta bangsa’ yang mereka
kenali selama ini adalah para tenaga kerja yang umumnya dari pedesaan.
Namun, begitu mereka berkesempatan datang ke Indonesia, khususnya
Jakarta, mereka sontak terkejut. Karena, kesan terbelakang yang mereka
bayangkan semula, justru jauh dari kenyataan.
Di Indonesia, terutama Jakarta dan kota-kota besar lainnya, telah
sejak lama berdiri aneka gedung megah perkantoran atau pusat
perbelanjaan, termasuk apartemen menengah hingga super mewah,
sebagaimana lazim ditemukan di berbagai kota besar dunia. Keterkejutan
mereka barangkali tidak sampai di situ saja. Karena, begitu mereka tahu
bahwa gedung-gedung yang mewah dan megah tadi, ternyata sebagian besar
dimiliki oleh para hoakiao (Cina perantauan) yang umumnya non Muslim.
Mereka akan lebih terkejut lagi manakala menemukan kenyataan, bahwa
di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim ini, begitu mudah
mengunjungi tempat maksiat, begitu mudah mendapatkan gadis muda sebagai
pelacur dengan harga murah, begitu mudah mendapatkan aneka jenis
narkoba, begitu mudah mendapatkan mangsa anak-anak di bawah umur untuk
dijadikan pemuas syahwat para pengidap phedophilia.
Bagi penduduk jiran yang terlanjur mengenal Indonesia sebagai negeri
dengan penduduk mayoritas Muslim, akan dikejutkan lagi oleh kenyataan
bahwa di negeri yang mengaku berpaham Ahlussunah wal Jama’ah ini
ternyata praktik nikah mut’ah yang haram itu justru diamalkan secara
terbuka, bukan karena mereka (para pelaku nikah mut’ah) itu berpaham
syi’ah, tetapi karena nikah mut’ah alias kawin kontrak telah dijadikan
jalan pintas untuk keluar dari kemiskinan turun temurun.
Masih ada lagi keterkejutan lainnya. Yaitu, manakala mereka menemukan
sejumlah fakta bahwa di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini,
ternyata praktik syirkiyah dan bid’ah justru diamalkan secara serius
seperti amalan syar’iyah. Bahkan oleh sebagian kalangan, amalan
syar’iyah tidak begitu diminati karena mereka justru lebih doyan amalan
yang tergolong bid’ah dan syirkiyah. Misalnya, ritual tolak bala’.
Ritual Tolak Bala’
Pada dasarnya, ritual tolak bala’ sama sekali bukan ajaran Islam.
Namun, oleh sebagian kalangan, ritual ini dikemas dengan berbagai
atribut Islam, dan dianggap sebagai muatan lokal yang mewarnai dan
memperkaya Islam. Padahal, itu sama saja dengan mencampur-adukkan yang
hak dengan yang bathil. Muatan lokal boleh saja, sejauh tidak
bertentangan dengan akidah.
Ritual tolak bala’ tidak bisa dikatakan sebagai fenomena kultural
semata, karena dalam perspektif Islam, hal itu bertentangan dengan
akidah. Selain itu, ritual tolak bala’ justru menjadi syariat
agama-agama di luar Islam, seperti Konghucu, Budha, dan sebagainya.
Dengan demikian, mempraktekkan ritual tolak bala’, sama saja dengan
menjalankan syari’at agama non Islam yang paganis alias berhalais.
Masalahnya, oleh sebagian kalangan, ritual tolak bala’ dipaksakan
untuk mendapat tempat terhormat, yaitu diposisikan sebagai tradisi
warisan luhur nenek moyang, atau sebagai budaya bangsa yang harus
dilestarikan, dan sebagainya. Padahal, ritual-ritual semacam itu selain
menguras waktu, tenaga dan biaya, juga bermuatan pembodohan terhadap
rakyat kebanyakan bahkan penyesatan yang nyata.
Pemaksaan itu nampaknya berhasil di sebagian kalangan. Sehingga
mereka yang sehari-hari mengaku beragama Islam pun, mempraktikkan ritual
tolak bala’ yang sarat pembodohan dan syirkiyah (kemusyrikan, dosa
paling besar, dan tidak diampuni Allah Ta’ala bila pelakunya meninggal
dalam keadaan belum bertaubat) itu.
Sebelum kami uraikan praktek upacara ritual tolak bala’ di berbagai
tempat, di sini kami kutipkan hukum ritual semacam itu, dan kami
kategorikan dalam hal hukum tumbal dan sesajen. Setelah itu kami
kutipkan tentang hukum praktek kemusyrikan.
Hukum Tumbal dan Sesajen dalam Islam
Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta
dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada AllahSubhanahu wa
Ta’ala(Lihat kitabTaisiirul Kariimir Rahmaanhal. 282), adalah suatu
bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada
AllahSubhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ
أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku),
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu
baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. al-An’aam [6] : 162-163)
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka, dirikanlah shalat karena Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar [108] : 2)
Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan
berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pemurnian agama bagi-Nya
semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan
anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan
harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu
Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 228)
Oleh karena itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
(baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk
mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah
tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan
merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar
dari agama Islam (menjadi kafir). (Lihat kitab Syarhu Shahiihi Muslim
13/141, al-Qaulul Mufiid ‘Ala Kitaabit Tauhiid 1/215 dan kitab at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid hal. 146)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (QS. Al-Baqarah [2] : 173)
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Artinya, sembelihan yang
dipersembahkan kepada sembahan (selain AllahSubhanahu wa Ta’ala) dan
berhala, yang disebut nama selain-Nya (ketika disembelih), atau
diperuntukkan kepada sembahan-sembahan selain-Nya.”(Kitab Jaami’ul Bayaan Fi Ta’wiilil Quran 3/319).
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya.” (HSR. Muslim No. 1978)
Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih
(berkurban) untuk selain-Nya, dengan laknat AllahSubhanahu wa
Ta’alayaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini termasuk
dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dijauhkan dari rahmat-Nya. (Keterangan Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam kitab at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid hal. 146)
Penting sekali untuk diingatkan dalam pembahasan ini, bahwa faktor
utama yang menjadikan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah
semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada
selain-Nya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan dalam hati
orang yang mempersembahkan kurban tersebut kepada selain-Nya, yang
semua ini merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata.
Oleh karena itu, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan
remeh, bahkan seekor lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan
dan ketakutan dalam hati kepada selain-Nya, maka ini juga termasuk
perbuatan syirik besar. (Lihat kitab Fathul Majid hal. 178-179)
Dalam sebuah atsar dari sahabat Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu
beliau berkata, “Ada orang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada
yang masuk neraka karena seekor lalat, ada dua orang yang melewati
(daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah) berhala mereka dan
mereka mengatakan, ‘Tidak ada seorangpun yang boleh melewati (daerah)
kita hari ini kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai
kurban/tumbal untuk berhala kita).’ Maka, mereka berkata kepada orang
yang pertama, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’ Tapi, orang
itu enggan —dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak akan
berkurban kepada siapapun selain AllahSubhanahu wa Ta’ala’—, maka diapun
dibunuh (kemudian dia masuk surga). Lalu, mereka berkata kepada orang
yang kedua, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’,—dalam riwayat
lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak mempunyai sesuatu untuk
dikurbankan.’
Maka mereka berkata lagi, ‘Kurbankanlah sesuatu meskipun (hanya)
seekor lalat!’, orang itu berkata (dengan meremehkan), ‘Apalah artinya
seekor lalat,’, lalu diapun berkurban dengan seekor lalat, —dalam
riwayat lain: maka merekapun mengizinkannya lewat— kemudian (di akhirat)
dia masuk neraka.’” (Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam
kitabal-Mushannaf (no. 33038) dengan sanad yang shahih, juga
diriwayatkan dari jalan lain oleh Imam Ahmad dalam kitabaz-Zuhd (hal.
15-16), al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman (no. 7343) dan Abu Nu’aim
dalam Hilyatul Auliyaa’ (1/203)).
(Ustadz Abdullah Taslim, M. A, Tumbal dan Sesajen, Tradisi Syirik Warisan Jahiliyah, www.muslim.or.id, Aqidah, 12-11-2010; Lihat http://nahimunkar.com/tumbal-dan-sesajen-tradisi-syirik-warisan-jahiliyah/)
Selanjutnya, mari kita kenali masalah-masalah kemusyrikan secara singkat sebagai berikut:
Syirkiyah atau kemusyrikan
Syirik bisa dipisahkan menjadi dua, syirik besar (akbar) dan syirik kecil (asghar).
Syirik besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan
menjadikannya kekal di dalam neraka, jika hingga meninggal dunia belum
juga bertaubat. Syirik besar adalah memalingkan sesuatu bentuk ibadah
kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendekatkan diri dengan
penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala,
baik untuk kuburan, jin atau setan, atau mengaharap sesuatu selain
Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun
mudharat.
Di antara batasan syirik akbar adalah:
- Syirik dalam rububiyah, seperti keyakinan bahwa arwah orang yang sudah meninggal mampu memberikan manfaat atau mudharat, memenuhi kebutuhan orang yang hidup, atau keyakinan bahwa ada orang yang ikut mengatur alam raya ini bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala , dan seterusnya.
- Syirik dalam asma’ wa shifat, seperti keyakinan bahwa ada orang yang mengetahui hal ghaib selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, misalnya dukun, peramal, dan semacamnya, syirik dengan menyerupakan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat makhluk, dan lain-lain.
- Syirik dalam uluhiyah (ibadah), seperti syirik dalam ibadah, doa, takut, cinta. Harap, taat, dan sebagainya.
Konsekuensi pelaku syirik akbar ini adalah:
- Yang tidak diampuni (apabila pelakunya mati dan belum bertaubat).
- Pelakunya diharamkan masuk surga.
- Kekal di dalam neraka.
- Membatalkan semua amalan, termasuk amalan yang lampau.
Sementara di antara batasan syirik ashghar adalah:
- Qauli (berupa ucapan), seperti bersumpah dengan menyebut selain nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , dan sejenisnya.
- Fi’li (berupa perilaku dan perbuatan), seperti tathayyur, datang ke dukun, memakai jimat dan rajah dan sejenisnya.
- Qalbi (berupa amal hati/batin), seperti riya, sum’ah, dan sejenisnya
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam,
tetapi mengurangi tauhid dan menjadi perantara terjerumus dalam syirik
besar. Syirik ini meliputi empat macam, yaitu syirik niat: dari semula
meniatkan ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, syirik doa: berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala atau selain berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berdoa kepada selain-Nya, syirik taat: menaati selain Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana menaati-Nya, syirik mahabbah: mencintai selain Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana mencintai-Nya.
Syirik ini terdiri dari dua, yaitu syirik yang jelas dan samar/tersembunyi:
- Dosanya di bawah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala ampuni pelakunya tidak diadzab dan kalau tidak diampuni, pelakunya masuk terlebih dahulu di neraka meskipun setelah itu dimasukkan ke dalam surga.
- Tidak kekal dalam neraka (kalau dia dimasukkan ke dalam neraka)
- Tidak membatalkan semua amalan, tetapi sebatas yang dilakukan dengan syirik.
- Pelakunya tidak diharamkan dari surga. (Dikutip dari Majalah Fatawa Vol. V/No. 03, Jogjakarta, Rabi’ul Awwal 1430, Maret 2009 hal. 8-11; Lihat http://nahimunkar.com/trend-muslim-bergaya-musyrik/)
Ritual kemusyrikan atas nama budaya local
Ngerinya, di kawasan yang selama ini dikenal sebagai kawasan yang
berpegang teguh pada syari’at Islam pun, seperti di Sumatera Barat,
ritual paganis ini dipraktekkan sebagai bagian dari kekayaan budaya
lokal, bahkan dijadikan objek wisata. Misalnya, di Sawahlunto yang
terletak sekitar 95 kilometer dari ibukota Sumatera Barat, Padang.
Di kawasan ini, ritual tolak bala’ disebut dengan nama Karu. Di
tempat lain, seperti Silungkang, Kubang, Kolok dan sejumlah daerah
lainnya di kawasan Sumatera Barat, dinamakan Do’a Tolak Bala’. Bila
ritual Do’a Tolak Bala’ dilaksanakan pada malam hari sambil berkeliling
kampung dan mengunjungi tempat-tempat yang dianggap keramat, Karu justru
dilaksanakan pada siang hari, dan terpusat di Situs Bala’i Batu
Sandaran sebagai Pusat Desa.
Karu tidak sekedar memanjatkan do’a serta puji-pujian kepada yang
Maha Kuasa menurut penafsiran mereka, namun dilanjutkan dengan Baureh
dan makan bersama. Baureh adalah prosesi memercikkan air yang dilakukan
oleh dukun nagari kepada masyarakat yang hadir. Air dipercikkan dengan
menggunakan alat bantu berupa tumbuhan alam yang terdiri dari Sitawa,
Cikumpai, Cikarau, Sidingin yang telah dimantra-mantrai dan diasapi
bakaran kemenyan. Mungkin mirip pendeta Hindu di Bali saat memercikkan
air suci kepada penganut Hindu.
Bersamaan dengan percikan air, berbagai harapan pun dipanjatkan
kepada yang Maha Kuasa, termasuk memohon kesehatan jasmani dan rohani
serta dijauhkan dari marabahaya maupun penyakit yang akan mendera.
Adakalanya, masyarakat membekali dirinya dengan Sitawa, Cikumpai,
Cikarau, Sidingin untuk dimantra-mantrai, kemudian dibawa pulang dan
digunakan untuk melakukan prosesi baureh di rumah masing-masing. Usai
prosesi baureh, dilanjutkan dengan makan bersama. Hidangan yang dimakan
bersama-sama berasal dari masakan yang dibawa oleh setiap keluarga yang
mengikuti ritual Karu.
Dalam setahun ritual Karu setidaknya dilaksanakan dua kali. Pertama,
satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan. Kedua, usai Ramadhan. Namun
demikian, ritual ini bisa saja dilaksanakan pada saat-saat darurat,
terjadi wabah penyakit, atau ketika pertanian terserang hama dan
mengakibatkan gagal panen. (www.sawahlunto-tourism.com)
Menurut sebuah media lokal, ritual tolak bala’ menjadi bagian tak
terpisahkan dalam keseharian warga Minang, bahkan mereka selalu berusaha
melestarikan adat tersebut. Misalnya, sebagaimana terjadi pada 21 Mei
2011 lalu, di Lubuk Kilangan, Padang. Menurut masyarakat Lubuk Kilangan,
tolak bala’ adalah acara adat yang berisi doa keselamatan agar
dijauhkan dari bencana dan marabahaya, juga untuk meningkatkan hasil
pertanian masyarakat lubuk kilangan yang mayoritas petani.
Ritual tolak bala’ kali ini berlangsung malam hari sekitar pukul
20:00 wib, dan dimpimpin oleh Dasri (Ketua Kerapatan Adata Nagari) Lubuk
Kilangan, yang membacakan sejumlah doa. Kemudian dilanjutkan dengan
ritual membuang uang logam dan sesajian ke sungai, dengan tujuan agar
segala kesusahan dan marabahaya hanyut bersama uang logam dan sesaji
tersebut.
Ritual tolak bala’ ini berlanjut dengan menjalankan tradisi
Pararakan. Yaitu, mengarak sebuah miniatur mesjid yang ditempeli uang
kertas, keliling kampung. Setelah diarak, miniatur masjid tersebut
diberikan kepada mesjid yang membutuhkan bantuan. Usai serah-terima
miniatur masjid, para ninik mamak kaum Lubuk Kilangan langsung
mengadakan acara adat makan bajamba.
Ada kemiripan dengan Karu di Sawahlunto yang di dalamnya ada acara
makan bersama. Di Lubuk Kilangan, hidangan yang dimakan bersama berasal
dari bawaan kaum ibu dari enam suku yang berada di lubuk kilangan. Usai
makan bajamba, dilanjutkan dengan prosesi dzikir bersama hingga pagi
hari yang dilakukan hanya oleh kaum lelakinya saja. (http://minangkabaunews.com/artikel-257-ritual-tolak-bala’-warga-lubuk-kilangan.html)
Masih di Sumatera Barat, ritual tolak bala’ yang dilaksanakan khusus
pada akhir bulan Safar juga diamalkan oleh para pengikut Syekh
Burhanuddin, khususnya di Kecamatan Ulakan, Kabupaten Pariaman. Namanya,
Basafa. Ritual Basafa diisi dengan shalat dan pengajian, juga
melantunkan serangkaian doa keselamatan.
Selain di Sumatera Barat yang terkenal dengan adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah, di Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi
kewenangan khusus menerapkan syari’at Islam ini, ternyata ritual tolak
bala’ juga masih terjadi. Misalnya, sebagaimana terjadi di Desa Meloak
Ilang, Kecamatan Putri Beutung, Kabupaten Bener Meriah, NAD.
Di Desa Meloak Ilang ini, ritual tolak bala’ sudah menjadi tradisi
tahunan. Prosesi yang ditempuh adalah menghanyutkan sesajian berupa ayam
jantan putih ke Sungai Alas oleh para tetua kampung. Mirip prosesi
larung sesaji di Jawa. Mereka meyakini, ritual itu dapat menangkal
datangnya bala’. Pada tahun 2010 lalu, ritual tolak bala’ berlangsung
pada hari Ahad tanggal 06 Juni.
Maksud hati menolak bala’, yang datang justru musibah. Ritual tolak
bala’ ini ternyata menarik perhatian masyarakat, termasuk anak-anak.
Pada saat ritual tolak bala’ berlangsung, sejumlah anak-anak menjejali
jembatan gantung yang melintas di atas Sungai Alas. Kekuatan besi
jembatan gantung itu rupanya tidak disiapkan untuk menahan beban berat,
sehingga besi itu lepas dan menyebabkan sejumlah orang yang berada di
atasnya tercebur ke sungai, termasuk anak-anak. Akibatnya, sejumlah 12
anak berusia antara 6-12 tahun tewas tenggelam, dan 25 lainnya mengalami
cidera. (nasional.vivanews.com edisi 07 Juni 2010)
Di Banjarmasin, juga ada tradisi tolak bala’ yang digelar menjelang
akhir bulan Safar, memasuki bulan Rabiul Awal yang juga dikenal dengan
nama bulan Maulud, mirip Basafa di Sumatera Barat. Ritual tolak bala’
versi umat Islam di Banjarmasin ini, berlangsung pada setiap hari Rabu
terakhir di bulan Safar, sehingga dinamakan Arba Mustakmir. Tujuannya,
agar terhindar dari segala malapetaka, bencana, penyakit atau wabah yang
tidak diinginkan selama setahun ke depan.
Pada tahun 2011 ini, Arba Mustakmir dimulai sejak terbenamnya
matahari pada hari Selasa tanggal 1 Februari 2011 (bersamaan dengan
tanggal 27 Safar 1432 Hijriah), hingga tenggelam matahari pada hari Rabu
tangal 2 Februari 2011 (bertepatan dengan tanggal 28 Safar 1432 H).
Antara lain berlangsung di Masjid Al Ikhwan jalan Veteran, juga di
Langgar Baitur Ridhwan, Jalan Dahlia, Banjarmasin.
Ritual tolak bala’ biasanya diawali dengan shalat sunat Dhuha
berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan membaca ya basith sebanyak 10
kali, membaca astaghfirullah lil mukminin wal mukminat, sebanyak 10
kali. Selanjutnya membaca doa khusus sebanyak tujuh kali, yaitu:
“…subhanallahi mil almizan wa muntaha ilmi wa mabladzarridha wa jinatal
arsy. Walhamdulillahi mil almizan wa muntaha ilmi wa mabladzarridha wa
jinatal arsy. Wa la ilaha ilallahu mil almizan wa muntaha ilmi wa
mabladzarridha wa jinatal arsy. Wallahu akbar mil almizan wa muntaha
ilmi wa mabladzarridha wa jinatal arsy…”
Bahkan ada yang melengkapi ‘peribadatan’ Arba Mustakmir-nya dengan
membaca surah Yaa Siin dengan tata cara yang berbeda. Yaitu, ketika
sampai pada ayat 58 yang berbunyi salaamun qaulam mir rabbir rahiim,
dibaca sebanyak 313 kali, barulah dilanjutkan ke ayat berikutnya sampai
selesai.
Bagi sebagian umat Islam yang bernaung di bawah majelis taklim
tertentu, pembacaan surah Yaa Siin dengan tata cara berbeda ini, juga
dilakukan pada hari-hari biasa. Namun ayat 58 yang berbunyi salaamun
qaulam mir rabbir rahiim, hanya dibaca sebanyak tiga kali saja.
(Banjarmasinpost.co.id – Rabu, 26 Januari 2011).
Bila di Banjarmasin dan Sumatera Barat ada ritual tolak bala’ yang
secara khusus dilaksanakan pada bulan Safar, maka di Banyuwangi ada
ritual tolak bala’ yang secara khusus dilaksanakan pada bulan Syawal,
yaitu Seblang. Ritual Seblang yang berlangsung pada hari ketujuh pada
bulan Syawal, bertujuan untuk membebaskan dari marabahaya (tolak bala’)
dan berharap selalu mendapat lindungan dari Allah SWT. Ritual Seblang
antara lain masih diamalkan oleh warga Desa Olehsari Kecamatan Glagah,
Banyuwangi, Jawa Timur. Bentuknya, berupa tari-tarian yang diperagakan
oleh gadis muda berusia belasan.
Di tempat acara, di atas pentas penari akan memasuki tahapan tidak
sadar diri karena sudah kemasukan roh halus (kesurupan), setelah
disematkan mahkota (omprog) seberat 2 kilogram yang terbuat dari
berbagai bunga seperti bunga kantil, kamboja, sundel, bunga pencari
kuning dan putih. Roh halus yang merasuki sang penari Seblang, dipercaya
sebagai roh nenek moyang. Pada saat penari Seblang sudah kemasukan roh
halus, maka itu merupakan pertanda bahwa desa mereka akan terbebas dari
marabahaya.
Dalam keadaan tidak sadar, penari Seblang lengkap dengan mahkota
(omprog), kemben dan jarit, meliuk-liuk selama sekitar lima jam
mengelilingi pentas, lengkap dengan 32 gending seblang dan puluhan
sinden mengiringi setiap gerakan sang penari. Selanjutnya, penari
melemparkan selendang kearah penonton. Selanjutnya, penonton yang
terkena lemparan selendang, wajib berlenggak-lenggok di atas pentas
bersama penari Seblang. Momen melempar selendang ini dinamakan Tundik.
Puncaknya, penari akan melempar kembang dirmo. Mereka percaya, siapa
saja yang bisa memilik kembang dirmo yang dlempar penari Seblang, maka
keinginannya akan mudah terwujud.
Itu semua adalah keyakinan batil yang sangat jauh dari Islam. Na’udzubillahi min dzalik. Kami berlindung dari hal yang demikian.
Di luar bulan Syawal, masyarakat Banyuwangi juga punya ritual tolak
bala’ bernama Kebo-keboan. Khususnya, tradisi kebo-keboan ini amat
dikenal masyarakat Alasmalang, Banyuwangi, Jawa Timur. Konon,
Kebo-keboan ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam, dan selalu
dilaksanakan pada tanggal 10 bulan Muharam. Tujuannya, antara lain untuk
memohon turunya hujan saat kemarau panjang, dan terhindar dari penyakit
aneh yang mewabah.
Ritual tolak bala’ Kebo-keboan ini diawali dengan menanam hasil
pertanian, seperti buah-buahan (pala gumantung), umbi-umbian (pala
kependhem atau pala bungkil), serta kacang-kacangan (pala kesampir).
Kemudian, pada keesokan harinya dilanjutkan dengan makan bersama.
Hidangan yang disantap bersama, disiapkan oleh warga sekitar, berupa
nasi tumpeng yang ditempatkan pada anchak yang terbuat dari batang daun
pisang dan bambu. Juga, dilengkapi dengan pecel ayam yang merupakan
makanan khas desa Alasmalang. Hidangan itu sebelum disantap
bersama-sama, terlebih dulu didoakan oleh sesepuh agama. Usai makan
bersama, warga desa saling membagikan kue-kue keada sanak familinya.
Ritual tolak bala’ ini disebut Kebo-keboan, karena salah satu
prosesinya mengandung unsur kerbau (kebo), yang diperankan oleh sejumlah
laki-laki dewasa dalam keadaan kesurupan dan berdandan serta bertingkah
bagai kerbau (kebo). Para kebo-keboan ini kemudian diarak (pawai ider
bumi) keliling desa dan singgah sejenak di kiblat desa berupa batu besar
dan menyerahkan sesaji berupa pitung tawar.
Kiblat desa bagi masyarakat Alasmalang disebut kiblat papat (empat
kiblat), terdiri dari watu lasa (kiblat timur laut), watu warang (kiblat
barat), watu gajah (kiblat selatan), dan watu naga (kiblat timur).
Keempat batu kiblat tersebut dipercaya mempunyai kekuatan magis yang
dapat menyelamatkan desa Alasmalang dari bencana yang akan menimpa warga
desa. (Itulah keyakinan kemusyrikan, karena mempercayai batu diyakini
punya kekuatan magis yang dapat menyelamatkan desa. Na’udzubillahi min dzalik!)
Sebelum pawai ider bumi berlangsung, jalan desa terlebih dulu dialiri
air sehingga menjadi seperti sawah. Para kebo-kebon ini, selama pawai
ider bumi berlangsung, saat melewati jalan desa yang sudah dialiri air
akan bertingkah bagai kerbau. Prosesi ini dinamakan bedah banyu. Usai
pawai ider bumi dan menyerahkan sesajen pitung tawar di kiblat papat,
para kebo-keboan tadi dibawa menuju pusat desa untuk menjalani prosesi
membajak sawah. Peralatan bajak sawah yang sederhana sudah disiapkan
untuk prosesi ini. Termasuk benih padi yang akan ditanam. Lelaki dewasa
yang kesurupan dan bertingkah bagai kerbau ini, akan kembali seperti
semula setelah dimantra-mantrai oleh tetua adat.
Upacara yang mengikuti bisikan syetan itu hanya menjerumuskan. Untuk
upacara penyembahan syetan itu bila biayanya digunakan untuk menyantuni
anak yatim misalnya, tentu bermanfaat. Namun dengan diadakan upacara
ritual syaithoni seperti ini justru disamping sesat, masih pula yang
seharusnya disantuni malah dananya untuk syetan, maka benarlah firman
Allah Ta’ala:
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ
بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ [البقرة
“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan
menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu
ampunan daripada-Nya dan karunia [170]. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 268)
[170]. Balasan yang lebih baik dari apa yang dikerjakan sewaktu di dunia.
Pohon Tumbang hingga Kongres PSSI
Ritual tolak bala’ dipraktekkan dengan berbagai macam latar belakang.
Misalnya di Jombang, ritual tolak bala’ digelar karena ada pohon tua
tumbang. Pohon tua berusia ratusan tahun yang berada di tengah pemakaman
umum tersebut tumbang dan terbelah menjadi dua bagian. Sebenarnya,
wajar saja pohon tua tumbang dan terbelah. Namun bagi sebagian
masyarakat, peristiwa itu dimaknai lain.
Sebagian warga setempat ada yang meyakini, tumbangnya pohon tua
tersebut merupakan pertanda akan datangnya musibah. Untuk mencegah
musibah, maka perlu digelar ritual tolak bala’. Sebagaimana diberitakan
waspada online edisi 12 Januari 2010, sejumlah warga berinisiatif
menggelar ritual tolak bala’ tepat ditengah-tengah belahan pohon tua
tersebut. Selain memanjatkan doa juga disiapkan sesajen berupa tujuh
rupa jajanan pasar. Usai ritual tolak bala’, warga secara beramai-ramai
memotong pohon tua tersebut.
Ternyata, ritual tolak bala’ juga dipraktekkan untuk menyukseskan
Kongres Luar Biasa PSSI (Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia), yang
berlangsung pada hari Sabtu tangal 9 Juli 2011 lalu. Dua hari sebelum
kongres luarbiasa berlangsung (Kamis, 7 Juli 2011), digelar doa bersama
yang berlangsung di Gapura Plaza Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, dan
dihadiri sekitar seribu orang. Doa bersama dilakukan oleh para tokoh
agama dari semua agama yang diakui di Indonesia.
Dilanjutkan dengan ritual tolakbala’ berupa tari-tarian yang
diperagakan oleh lima orang dengan tubuh serba hitam, sebagai simbol
dari pengacau. Kemudian ada sejumlah tokoh berpakaian serba putih yang
membawa peran mendamaikan keadaan. Para penari itu bergerak menuju
panggung dengan diiringi alunan kelompok musik gamelan Jawa Larasmadya.
Ritual tersebut diyakini sebagai cara yang ampuh untuk menyukseskan
berlangsungnya kongres luar biasa PSSI.
Kongres Luar Biasa PSSI tersebut tentu saja dihadiri oleh Jenderal
TNI Purn. Agum Gumelar dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komite
Normalisasi PSSI. Sebelumnya, Kongres PSSI yang berlangsung 20 Mei 2011,
berakhir deadlock. Antara lain, karena Federasi Asosiasi Sepak Bola
Internasional FIFA, menolak pencalonan George Toisutta dan Arifin
Panigoro sebagai calon Ketua dan Wakil Ketua PSSI menggantikan Nurdin
Khalid.
Rupanya, di kalangan yang terkesan modern, intelek dan rasional,
menjadikan ritual tolak bala’ yang terkesan tradisional dan irasional
sebagai salah satu upaya mensukseskan hajatan akbarnya, tetap menjadi
bagian yang dianggap lumrah. Kalau yang terkesan modern, intelek dan
rasional saja pola fikirnya seperti itu, bagaimana pula dengan yang
tidak intelek dan terbelakang? Pasti lebih kacau lagi.
Barangkali, ini merupakan fenomena dari sebuah masyarakat yang lemah
iman dan kurang percaya diri. Sehingga, lebih memilih solusi yang
irasional dan bermuatan pembodohan serta penyesatan, dibanding mengikuti
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan iman dan istiqomah
alias konsekuen serta konsisten.
Peran syetan dan orang-orang munafiq
Dalam ayat pada awal tulisan ini tercantum peran syetan kemudian
disambung dengan peran orang-orang munafiq. Syetan bermaksud menyesatkan
mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Sedang orang-orang
munafiq menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati)
orang yang mengajak untuk (tunduk) kepada hukum yang Allah telah
turunkan dan kepada hukum Rasul.
Sebenarnya, syetan itu tipudayanya lemah. Telah jelas Allah firmankan:
إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا [النساء/76]
“…karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (QS An-Nisaa’ 4: 76).
Dalam kenyataan, kenapa justru di mana-mana banyak orang tunduk
kepada syetan, dari yang di perkampungan tradisional sampai ke tingkat
orang modern taraf nasional tetapi tunduk dan mengabdi kepada syetan
dengan cara melayani pakai sesaji ataupun ritual tertentu?
Masalah itu dapat dilihat, dari sisi lanjutan ayat tersebut di atas,
jelas peran orang-orang munafiq lah yang punya andil besar. Di samping
itu, factor utamanya pula, karena keimanan atau keikhlasan mereka sangat
tipis. Kalau mereka itu orang-orang yang mukhlis, ikhlas, beribadah
hanya untuk Allah Ta’ala, maka syetan pun tidak sanggup menundukkannya.
Karena dalam Al-Qur’an ditegaskan:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ
لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39) إِلَّا
عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (40) قَالَ هَذَا صِرَاطٌ عَلَيَّ
مُسْتَقِيمٌ (41) إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا
مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ (42) وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمَوْعِدُهُمْ
أَجْمَعِينَ [الحجر/39-43]
Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik
(perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis [799] di antara
mereka." Allah berfirman, "Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban
Aku-lah (menjaganya) [800]. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada
kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut
kamu, yaitu orang-orang yang sesat. Dan sesungguhnya Jahannam itu
benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka
(pengikut-pengikut syaitan) semuanya.” (QS. Al-Hijr [15] : 39-43)
[799]. Yang dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah s.w.t.
[800]. Maksudnya pemberian taufiq dari Allah s.w.t. untuk mentaati-Nya, sehingga seseorang terlepas dari tipu daya syaitan mengikuti jalan yang lurus yang dijaga Allah s.w.t. Jadi sesat atau tidaknya seseorang adalah Allah yang menentukan.
Allah telah mengancam para pengikut syetan bahwa tempat mereka adalah
neraka Jahannam. Yang selamat hanyalah orang-orang mukhlisin yang taat
kepada Allah Ta’ala, karena mendapatkan taufiq (pertolongan) dari Allah.
Ketika kenyataannya ritual-ritual yang bertentangan dengan aturan Allah Ta’ala
di negeri ini dilakukan orang di mana-mana, berarti merupakan
keberhasilan kaum munafiq dalam membodohi dan menyesatkan Ummat sesuai
dengan program syetan. Semakin banyak dan berperannya orang-orang
munafiq maka semakin merajalela pula kesesatan dan pemujaan syetan.
Hingga semakin banyak pula yang memusuhi orang-orang yang mukhlis.
Sehingga orang-orang mukhlis yang berupaya untuk menegakkan aturan Allah
di bumi-Nya ini senantiasa berhadapan dengan orang-orang munafiq dan
wadyabala syetan, baik sifatnya local, nasional, maupun internasional.
Ada yang cari proyek dan ada yang cari tenaga untuk proyeknya, yang
semua itu untuk menghadapi orang-orang mukhlis. Maka tidak mengherankan,
kelompok yang sejak lama berhadapan dengan kaum mukhlis, akhir-akhir
ini tampak lantang dalam berkaok-kaok yang intinya agar digunakan
sebagai tenaga-tenaga dalam menghadapi kaum mukhlis, siap bekerjasama
dengan wadyabala syetan lainnya di antaranya dengan modal ilmu syetan,
misalnya ilmu kebal dan semacamnya.
Pemilik proyek pun faham, boleh-boleh saja mengucurkan dana, asal
hanya tampak syar’i dan bukan syar’i betulan, yang pada hakekatnya
adalah bid’i atau sebenarnya menjadikan Ummat ini bodoh dan jauh dari
ajaran Islam yang benar. Proyek-proyek semacam ini lah yang tampaknya
sedang didanai akhir-akhir ini, disamping ritual syirkyah yang
jelas-jelas merusak iman seperti tersebut dalam uraian ini.
Benar lah ayat tersebut di atas yang menggandengkan peran syetan
dengan peran orang-orang munafiq, agar hal itu dicamkan benar-benar oleh
kaum muslimin. Agar tidak terjerat oleh tipuan syetan dan munafiqin.
Dan benarlah firman Allah ini:
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا
يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ
مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا
كَانُوا يَكْذِبُونَ (10) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي
الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (11) أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ
الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ [البقرة/9-12]
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal
mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam
hati mereka ada penyakit [23], lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan
kepada mereka, "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi [24]".
Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan
perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang
membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS. Al-Baqarah [2] : 9-12)
[23]. Yakni keyakinan mereka terdahap kebenaran Nabi Muhammad s.a.w. lemah. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap Nabi s.a.w., agama dan orang-orang Islam.
[24]. Kerusakan yang mereka perbuat di muka bumi bukan berarti kerusakan benda, melainkan menghasut orang-orang kafir untuk memusuhi dan menentang orang-orang Islam.
-nahimunkar.com-
Anda sedang membaca artikel tentang Ritual Tolak Bala’ di Negeri Mayoritas Muslim dan anda bisa menemukan artikel Ritual Tolak Bala’ di Negeri Mayoritas Muslim ini dengan url http://bagiislam.blogspot.com/2013/01/ritual-tolak-bala-di-negeri-mayoritas.html. Anda boleh menyebarluaskan atau mengcopy artikel Ritual Tolak Bala’ di Negeri Mayoritas Muslim ini jika memang bermanfaat bagi anda atau teman-teman anda,namun jangan lupa untuk mencantumkan link sumbernya CariManfaat.com.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan GRATIS via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di CariManfaat.com
0 komentar:
Post a Comment
Berkomentarlah secara Cerdas. Dilarang keras untuk berkomentar iklan